Selasa, 14 April 2020

Perlawanan Rakyat Sumatera Barat Terhadap Belanda

Perang Padri adalah perang yang terjadi di tanah Minangkabau, Sumatera Barat pada tahun 1821-1837. Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh murid Tuamku Kota Tua sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut.

Dalam melaksanakan pemurnian praktik ajaran Islam, kaum Padri menentang praktik berbagai adat yang tidak sesuai ajaran Islam. Kaum Adat yang mendapat dukungan dari beberapa pejabat penting kerajaan menolak gerakan kaum Padri. Adanya pertentangan antara kaum Padri dengan kaum Adat telah menjadi pintu masuk bagi campur tangan Belanda.

Tahun 1821 pemerintah Hindia Belanda mengangkat James Du Puy sebagai residen di Minangkabau. Pada tanggal 10 Februari 1821, Du Puy mengadakan perjanjian persahabatan dengan tokoh Adat, Tuanku Suruaso dan 14 Penghulu Minangkabau.

Berdasarkan perjanjian ini maka beberapa daerah kemudian diduduki oleh Belanda. Pada tanggal 18 Februari 1821, Belanda yang telah diberi kemudahan oleh kaum Adat berhasil menduduki Simawang. Tindakan Belanda ini ditentang keras oleh kaum Padri, maka tahun 1821 itu meletuslah Perang Padri. Perang Padri di Sumatera Barat ini dapat dibagi dalam tiga fase.

A. Fase pertama (1821-1825)
Pada fase pertama, dimulai gerakan kaum Padri menyerang pos-pos dan pencegatan terhadap patroli-patroli Belanda. Bulan September 1821 pos-pos Simawang menjadi sasaran serbuan kaum padri. Juga pos-pos lain seperti Soli Air, Sipinang dan lain-lain.

Sementara itu pasukan Belanda setelah berhasil menguasai seluruh lembah Tanah Datar, kemudian mendirikan benteng di Batusangkar yang kelak terkenal dengan sebutan Front Van der Capellen. Perlawanan kaum Padri muncul di berbagai tempat. Tuanku Pasaman memusatkan perjuangannya di Lintau dan Tuanku Nan Renceh memimpin pasukannya di sekitar Baso.

Pada tahun 1823 pasukan Padri berhasil mengalahkan tentara Belanda di Kapau. Kemudian kesatuan kaum Padri yang terkenal adalah yang berpusat di Bonjol. Pemimpin mereka adalah Peto Syarif. Peto Syarif inilah yang dalam sejarah Perang Padri dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol.

Karena merasa kewalahan dalam melawan kaum Padri, maka Belanda mengambil strategi damai. Pada tanggal 26 Januari 1824 tercapailah perundingan damai antara Belanda dengan kaum Padri di wilayah Alahan Panjang. Perundingan ini dikenal dengan Perjanjian Masang.
 Perang Padri adalah perang yang terjadi di tanah Minangkabau Perlawanan Rakyat Sumatera Barat Terhadap Belanda
Belanda memanfaatkan perdamaian tersebut untuk menduduki daerah-daerah lain. Tindakan Belanda tersebut telah menimbulkan amarah kaum Padri Alahan Panjang dan menyatakan pembatalan kesepatakan dalam Perjanjian Masang. Tuanku Imam Bonjol menggelorakan kembali semangat untuk melawan Belanda.

Fase kedua (1825-1830)
Pada tahun 1825 di Jawa mulai berkobar perang Diponegoro. Belanda menilai bahwa perang Diponegoro lebih berbahaya dari pada Perang Padri. Bagi Belanda tahun tersebut digunakan untuk sedikit mengendorkan ofensifnya dalam Perang Padri. Upaya damai diusahakan sekuat tenaga. Kolonel De Stuers penguasa sipil dan militer di Sumatera Barat berusaha mengadakan kontak dengan tokoh-tokoh kaum Padri untuk menghentikan perang dan sebaliknya perlu mengadakan perjanjian damai.

Belanda kemudian minta bantuan kepada seorang saudagar keturunan Arab yang bernama Sulaiman Aljufri. Sulaiman Aljufri menemui Tuanku Imam Bonjol agar bersedia berdamai dengan Belanda. Tuanku Imam Bonjol menolak. Kemudian menemui Tuanku Lintau ternyata merespon ajakan damai itu. Hal ini juga didukung Tuanku Nan Renceh. Pada tanggal 15 November 1825 ditandatangani Perjanjian Padang. Isi Perjanjian Padang itu antara lain :
  1. Belanda mengakui kekuasaan pemimpin Padri di Batusangkar, Saruaso, Padang Guguk Sigandang, Agam, Bukittinggi dan menjamin pelaksanaan sistem agama di daerahnya.
  2. Kedua belah pihak tidak akan saling menyerang
  3. Kedua pihak akan melindungi para pedagang dan orang-orang yang sedang melakukan perjalanan
  4. Secara bertahap Belanda akan melarang praktik adu ayam.

Fase ketiga (1830 – 1837/1838)
Setelah Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830, semua kekuatan Belanda dikonsentrasikan ke Sumatera Barat untuk menghadapi perlawanan kaum Padri. Pada pertempuran fase ketiga ini kaum Padri mulai mendapatkan simpati dari kaum Adat. Tahun 1831 Gillavary digantikan oleh Jacob Elout. Elout ini telah mendapatkan pesan dari Gubernur Jenderal Van den Bosch agar melaksanakan serangan besar-besaran terhadap kaum Padri.

Elout segera mengerahkan pasukannya untuk menguasai beberapa nagari, seperti Manggung dan Naras. Termasuk daerah Batipuh. Setelah menguasai Batipuh, serangan Belanda ditujukan ke Benteng Marapalam. Benteng ini merupakan kunci untuk dapat menguasai Lintau. Pada Agustus 1831 Belanda dapat menguasai Benteng Marapalam tersebut. Dengan jatuhnya benteng ini maka beberapa nagari di sekitarnya ikut menyerah.

Dengan kekuatan yang berlipat ganda Belanda melakukan penyerangan terhadap pos-pos pertahanan kaum Padri. Banuhampu, Kamang, Guguk Sigandang, Tanjung Alam, Sungai Puar, Candung dan beberapa nagari di Agam.

Di samping strategi militer, Van den Bosch menerapkan strategi winning the heart kepada masyarakat. Pajak pasar dan berbagai jenis pajak mulai dihapuskan. Penghulu yang kehilangan penghasilan akibat penghapusan pajak, kemudian diberi gaji 25-30 gulden. Para kuli yang bekerja untuk pemerintah Belanda juga diberi gaji 50 sen sehari. Elout digantikan oleh E. Francis yang tidak akan mencampuri urusan pemerintahan tradisional di Minangkabau.

Kemudian dikeluarkan Plakat Panjang. Plakat Panjang adalah pernyataan atau janji khidmat yang isinya tidak akan ada lagi peperangan antara Belanda dan kaum Padri. Setelah pengumuman Plakat Panjang ini kemudian Belanda mulai menawarkan perdamaian kepada para pemimpin Padri

Dengan kebijakan baru itu beberapa tokoh Padri dikontak oleh Belanda dalam rangka mencapai perdamaian. Tahun 1834 Belanda dapat memusatkan kekuatannya untuk menyerang pasukan Imam Bonjol di Bonjol. Tanggal 16 Juni 1835 benteng Bonjol dihujani meriam oleh serdadu Belanda. Agustus 1835 benteng di perbukitan dekat Bonjol jatuh ke tangan Belanda.

Belanda juga mencoba mengontak Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai. Imam Bonjol mau berdamai tetapi dengan beberapa persyaratan antara lain kalau tercapai perdamaian Imam Bonjol minta agar Bonjol dibebaskan dari bentuk kerja paksa dan nagari itu tidak diduduki Belanda.

Justru Belanda semakin ketat mengepung pertahanan di Bonjol. Sampai tahun 1836 benteng Bonjol tetap dapat dipertahankan oleh pasukan Padri. Bulan Oktober 1837, secara ketat Belanda mengepung dan menyerang benteng Bonjol. Akhirnya Tuanku Imam Bonjol dan pasukannya terdesak. Pada tanggal 25 Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol ditangkap. Imam Bonjol sendiri kemudian dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Tanggal 19 Januari 1839 ia dibuang ke Ambon dan tahun 1841 dipindahkan ke Manado sampai meninggalnya pada tanggal 6 November 1864.